Berbicara tentang bahan pewarna ikan janganlah dibayangkan sebagaimana  penambahan formalin atau borax pada kasus daging ayam atau ikan asin.  Hanya untuk keuntungan sesaat bahan-bahan tersebut dioleskan ke bahan  pangan dan akibatnya sangat membahayakan bagi konsumen. Pewarnaan ikan  dilakukan dengan memasukan bahan pewarna kedalam pakan ikan budidaya  untuk menjaga dan meningkatkan kualitas warna ikan yang bila tidak  dilakukan akan menjadikan warna pudar pada ikan budidaya.Tulisan ini  lebih mengarah kepada informasi bagi para produsen pakan ikan atau para  petani budidaya ikan agar mempunyai pengetahuan yang mendalam akan  sumber-sumber bahan pewarna baik pada ikan budidaya maupun pada ikan  hias.
Seperti kita ketahui bersama bahwa penambahan pewarna pada pakan ikan  budidaya akan mengakibatkan adanya peningkatan pigmen warna, minimal  ikan mampu mempertahankan pigmen warna pada tubuhnya selama masa  pemeliharaan di kolam,tambak atau jaring apung. Hasil-hasil penelitian  menunjukkan bahwa dalam budidaya, ikan yang pakannya mengandung pigmen  warna akan nampak seperti ikan hasil tangkapan di alam, sementara ikan  yang diberi pakan komersil dan tidak mengandung pigmen warna dalam  pakannya, warna ikan akan memudar dan bahkan akan menjadi lebih gelap.  Selain karena ketiadaan pigmen warna dalam pakannya, kondisi ini  disebabkan oleh dominasi pigmen melanin akibat radiasi sinar matahari  saat ikan dipelihara dikolam terbuka atau jaring apung laut.
Perbedaan warna yang sangat mencolok ini berimbas pada harga jual  ikan tersebut. Hasil beberapa survey penelitian menunjukkan bahwa  konsumen menilai warna ikan yang baik terkait dengan harga, kesegaran  dan kualitas daging yang bagus pula.
Oleh karena itu kebutuhan mendasar dalam pembuatan pakan ikan selain  keseimbangan nutrisi, maka perlu dipertimbangkan pula untuk menambahkan  bahan pewarna dalam pakan ikan budidaya. Bahan pewarna itu lebih dikenal  dengan karoten. Ada beberapa jenis karoten dialam, namun jenis karoten  yang paling efektif dan dominan untuk pewarna pada ikan adalah karoten  dari jenis astaxanthin. Dibanding jenis karoten lain seperti  beta-caroten atau cantaxanthin, astaxanthin menunjukkan pengaruh yang  dominan dalam pewarnaan ikan budidaya. Berdasarkan sumbernya,  astaxanthin dibagi atas 2 bagian yakni : astaxanthin alami (natural  astaxanthin) dan astaxanthin buatan (synthetic astaxanthin).
1. Astaxanthin alami.
Astaxanthin alami adalah jenis astaxanthin yang didapatkan dari  produsen primer seperti tanaman, phytoplankton atau mikroorganisme  seperti bakteri atau ragi. Atau hewan seperti jenis udang rebon, udang  krill atau sisa buangan kepala udang. Sumber astaxanthin alami yang umum  digunakan dalam dunia budidaya ikan diantaranya adalah : Haematococcus pluvialis, Chlorella vulgaris, Phaffia rhodozyma, Paracoccus dan udang krill.
1.a. Haematococcus pluvialis
Mikroorganisme ini adalah yang paling banyak digunakan sebagai bahan pewarna pada pakan ikan budidaya. Haematococcus pluvialis  adalah alga sel tunggal dari spesies Chlorophyta yang penyebarannya  sangat luas terutama pada daerah bermusim empat. Pada kondisi  pertumbuhan yang normal, Haematococcus adalah berwarna hijau  dan organisme ini melayang di air (Gbr.2a). Namun saat hidup  dilingkungan yang rendah nutrien, cahaya terang atau kondisi lingkungan  buruk lainnya, mereka akan membentuk spora dan secara cepat memproduksi  astaxanthin (Gbr 2b). Diduga bahwa Haematococcus memproduksi  astaxanthin sebagai perlindungan serangan sinar ultraviolet saat  lingkungan buruk. Selanjutnya spora dapat pecah dan kembali menjadi alga  hijau saat lingkungan sudah kondusif untuk tumbuh.
Pada dasarnya produksi tepung alga Haematococcus sebagai  sumber astaxanthin alami relatif mudah sebab alga ini tumbuh dengan  cepat pada media dengan nutrien yang sederhana. Akan tetapi karena Haematococcus  tumbuh pada media kultur yang netral, kontaminasi oleh mikroalga lain  dan protozoa dapat menimbulkan masalah. Hambatan-hambatan ini harus  dihilangkan dan karenanya memerlukan teknologi yang lebih canggih untuk  mengontrolnya. Masalah lain yang juga jadi kendala dan akibatnya  terkadang pengaruhnya sebagai bahan pewarna kurang efektif adalah adanya  ketebalan dinding sel yang tinggi pada alga ini sehingga perlu usaha  untuk sedapat mungkin menghancurukan dinding sel tersebut sehingga mudah  langsung diserap oleh sistem metabolisme tubuh ikan.
Perusahaan yang sudah memproduksi Haematococcus secara massal  adalah Cyanotech Corporation di Hawaii yang menggunakan kombinasi dari  fotobioreaktor tertutup dan terbuka dan mempunyai teknologi penggilingan  untuk mengancurkan dinding sel. Produk tersebut (tepung Haematococcus)  kemudian disemprot kering dan diawetkan dengan memakai ethoxyquin atau  antioksidan lainnya untuk mencegah kerusakannya. Kapasitas produksi  Cyanotech dalam setahun lebih dari 70 metrik tons tepung alga  haematococcus (minimal kandungan 1.5% astaxanthin).Merek dagang dari Haematococcus yang diproduksi oleh Cyanotech adalah NatuRose.
komposisi dari tepung alga Haematococcus terdiri dari carotenoids, asam lemak, protein, karbohidrat, dan mineral. Astaxanthin dalam Haematococcus  mengandung sekitar 70% monoester (berkaitan dengan 16:0, 18:1 dan 18:2  asam lemak), 25% diester dan 5% pigmen lain. Komposisi ester ini mirip  dengan yang ada di jenis crustacea. Dengan kandungan astaxanthin 1.5%,  kita hanya memerlukan 5.33 kg tepung alga Haematococcus untuk ditambahkan ke dalam 1 ton pakan untuk mencapai konsentrasi 80 ppm astaxanthin dalam pakan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa NatuRose ditemukan seefektif  astaxanthin buatan pada pewarnaan ikan rainbow trout. Bahkan pada  penelitian yang lainnya menunjukkan bahwa NatuRose lebih efektif dalam  pewarnaan ikan kakap merah dibanding ikan yang diberi pakan yang  mengandung astaxanthin buatan. Namun hasil penelitian pada ikan mas koki  menunjukkan bahwa akibat adanya dinding sel yang tebal, pewarnaan  dengan Haematococcus tidak efektif.
1.b Phaffia Yeast.
Phaffia yeast adalah bentuk asexual dari ragi, Xanthophyllomyces dendrorhous  (Golubevm 1995), Nama -nama komersial yang beredar dipasaran atas  produk ini adalah Red Star Phaffia Natural color, Red Star Phaffia  Yeast, dan belakangan dikenal sebagai Ecotone Phaffia Natural Color.  Ecotone ini umumnya terdiri atas Phaffia rhodozyma (80%), dan kurang dari 20% ragi Phaffia cerevisiae, dan mengandung 2000mg ethoxyquin/kg. produk. Penambahan Saccarhomyces cerevisiae  dimaksudkan untuk untuk mencukupi standarisasi kandungan  astaxanthinnya, sedangkan penambahan ethoxyquin dimaksudkan untuk  menghindari terjadinya oksidasi. Namun bahan bahan dasar ini memungkin  diganti dengan bahan yang mirip dengan bahan dasar seperti ethoxyquin  yang bisa juga diganti dengan bahan antioksidan lainnya.
Kandungan astaxanthin Phaffia rhodozyma adalah lebih dari 90%  dan didominasi oleh free astaxanthin, non-ester, 3R,3′R (dari 3 bentuk  molekul enansiomer astaxanthin : 3S,3′S; 3S,3R; 3R,3′R). Red Star  Phaffia natural color mengandung lebih dari 4000 mg astaxanthin/kg ragi,  sedangkan Ecotone Phaffia natural colour mengandung 4000 ・6000 mg/kg  ragi. Menurut Andrews, Paff and Star (1973) menyatakan bahwa Phaffia rhodozyma mengandung 87-89% astaxanthin dalam karotenoid. Meskipun pada dasarnya astaxanthin yang diisolasi dari P.rhodozyma adalah E-isomer, namun tiap kultur Phaffia rhodozyma  mngandung Z-isomer, beta-isomer (2-2.5% dari total karoten), echinenone  (2-4% dari total karoten),3-hidroxyechinenone (3-4.5% dari total  koraten), dan phoenicoxanthin (5-7% dari total karoten).gamma-karoten,  neurosporene dan lycopene ada dalam jumlah kecil (trace elements).
Red star Phaffia yeast natural color mengandung sekitar 29-31% protein, 21-29% lemak, 2.9-3.6% abu dan 39-41% karbohidrat.
Sifat-sifat mikrobial dijelaskan dengan melalui jumlah total bakteri < 15.000/g ragi, jamur < 60 g, jumlah bakteri E.coli < 3/g dan salmonela negatif dan Phaffia rhodozyma < 1/g.
Ecotone Phaffia natural color yang diproduksi pada padasarnya sama  dengan Red star Phaffia Natural Color, namun pada proses tahapan  selanjutnya, ecotone digiling sehalus mungkin untuk meningkatkan  bioavailability astaxanthinnya.
Kestabilan Ecotone Phaffia natural color, menurut hasil penelitian,  menunjukan adanya perununan kandungan astaxanthin selama penyimpanan.  Penyimpanan ecotone pada suhu 30oC, kandungan astaxanthinnya  hilang sekitar 7% setelah 42 hari, pada hari ke-83 astaxanthinnya hilang  sekitar 33% dan setelah 149 dan 180 hari, astaxanthin yang hilang  adalah 50%.
Setelah 42 hari penyimpanan pada suhu 6oC, kandungan  astaxanthin menurun menjadi tinggal 97%, setelah 82 hari menjadi 95%,  112 hari menjadi 99%, setelah 149 hari menjadi 97% dan setelah 180 hari  menjadi 96%. Ini berarti penyimpanan pada suhu 6oC adalah yang terbaik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ecotone Corporation menunjukkan  bahwa sumber astaxanthin Phaffia memberikan hasil yang lebih tinggi pada  pigmentasi daging ikan rainbow trout setelah 12 minggu pemberian pakan  dibanding dengan pemberian astaxanthin buatan. Pada pemberian pakan  dengan kandungan 61 mg milled yeast/kg pakan menghasilkan deposit  astaxanthin pada kulit sebanyak 8.2-0.1 mg astaxanthin/kg daging trout,  sedang pada pakan yang tidak diberi ragi dengan kandungan astaxanthin 56  mg/kg pakan hanya mampu mendepositkan astaxanthin dalam daging trout  sejumlah 3.7-0.2 mg/kg daging trout dan pembrian pakan yang mengandung  astaxanthin buatan dengan kandungan 58 mg astaxanthin buatan/kg pakan  mampu nedepositkan astaxnthin pada daging rainbow trout sebesar 8.6-0.9  mg/kg.
 
Jual produk-produk untuk pembenihan udang dan ikan al : Artemia, Spirulina, Ovaprim, Multivitamin, Vitamin C dll.
BalasHapusYanto Pemalang Jateng
HP 0812 2841 280